Teori belajar Piaget memberikan
pengaruh yang luar biasa terhadap perkembangan teori pembelajaran kognitif. Hal
ini terbukti dengan banyaknya peneliti yang tertarik melakukan analisis serta
memperluas teori tersebut. salah satu kritik yang cukup tajam terhadap teori
Piaget adalah berkenaan dengan asumsi bahwa pengertian akan suatu struktur yang
sama akan diperoleh pada usia yang sama dalam berbagai domain intelektual.
Implikasi dari hal ini adalah ketika seorang anak sudah dapat mengawetkan
besaran suatu unsur dengan mengenali bahwa besaran dari benda tersebut sama
terlepas dari bentuknya anak secara rasional dapat diduga akan mengawetkan
konsep berat, karena struktur antara konsep besaran dan berat sama. Ternyata
bersadar pada studi eksperimental yang dilakukan oleh para peneliti hal ini
tidak sepenuhnya benar. Hal ini dianggap sebagai sebuah penyimpangan.
Penyimpangan yang dimaksud adalah terjadinya perbedaan cara dalam memperoleh
sebuah struktur yang sama oleh seorang individu. Dari beberapa hasil
pengembangan penelitian dalam teori ini ternyata penyimpangan ini lazim terjadi
sebagaimana diungkapkan oleh Biggs dan Collis (1982). Fakta ini memicu sebuah
pengembangan teori dari teori Piaget yang dikenal dengan neo-Piagetian
theories.
Biggs dan Collis adalah peneliti yang turut melakukan dan analisis teori belajar Piaget. Salah satu isu utama yang dikaji oleh kedua peneliti ini berkaitan dengan struktur kognitif. Teori mereka dikenal dengan Structure of Observed Learning Outcomes (SOLO). Biggs dan Collis (1982: 22) membedakan antara “generalized cognitive structure” atau struktur kognitif umum anak dengan “actual respon” atau respon langsung anak ketika diberikan perintah-perintah. Mereka menerima kebeadaan konsep struktur kognitif umum namun mereka menyakini bahwa hal tersebut tidak dapat diukur langsung sehingga perlu mengacu pada sebuah “hypothesized cognitive structure” (HCS) atau struktur kognitif hipotesis. Menurut mereka HCS ini relative lebih stabil dari waktu ke waktu serta bebas dari pengaruh pembelajaran disaat anak diukur menggunakan taxonomi SOLO dalam menyelesaikan suatu tugas tertentu. Penekan pada suatu tugas tertentu sangat penting seperti yang diasumsikan dalam taksonomi SOLO bahwa penampilan seseorang sangatlah beragam dalam menyelesaikan satu tugas dengan tugas lainnya, hal ini berkaitan erat dengan logika yang mendasarinya, selanjutnya asumsi ini juga meliputi penyimpangan yang dalam model ini dikatakan:
Siswa dapat saja berada pada awal
level formal dalam matematika namun berada pada level awal konkrit dalam
sejarah, atau bahkan dapat terjadi, suatu hari siswa berada pada level formal
di matematika namun dilain hari dia masih berada pada level yang konkrit pada
topik yyang berbeda. Hasil observasi seperti ini tidak dapat mengindikasikan
terdapatnya “pertukaran” dalam perkembangan kognitif yang berlangsung, tetapi
sedikit pertukaran terjadi pada konstruksi yang lebih proximal ,
pembelajaran, penampilan atau motivasi. Biggs & Collis (1991:60)
Dari uraian di atas maka dapat
dikatakan bahwa teori tersebut lebih menekankan pada analisis terhadap kualitas
respon anak. Untuk melihat respon anak diperlukan butir-butir rangsangan. Dan
butir-butir rangsangan dalam konteks ini tidak difokuskan untuk melihat
kebenaran dari jawaban saja melainkan lebih pada melihat struktur alamiah dari
respon siswa dan perubahannya dari waktu ke waktu.
Untuk menjelaskan konsep
“pertukaran” yang terjadi dalam pertumbuhan kognitif yang tidak biasa diantara
anak-anak sekolah, Biggs & Collis (1991: 60)menyediakan suatu level
tersendiri yang diberi nama “post formal mode”. Bagaimanapun juga
terdapat satu perbedaan penting dari teori yang dikemukakan Piaget yaitu ketika
mode atau level baru mulai muncul, ini tidak akan menggantikan level yang lama
begitu saja melainkan dapat berkembang bersamaan. Oleh karena itu mode-model
tersebut tumbuh sejak lahir hingga dewasa. Level terakhir adalah batas
tertinggi dari proses abstraksi yang dapat ditunjukkan anak, bukan seluruh penampilan
yang harus menyesuaikan dengan level-nya. Secara khusus, ketika semakin banyak
mode yang memungkinkan maka multi-modal fungsioning menjadi normanya.
Berikut adalah 5 mode yang
diutarakan oleh Biggs dan Collis:
1. Mode Sensorimotor
Focus perhatian pada mode ini adalah
lingkungan fisik sekitar anak. Anak membangun kemampuan untuk melakukan
koordinasi dan mengatur interaksinya dengan lingkungan sekitar. Perkembangan
yang berkelanjutan pada mode ini ditunjukkan oleh kegiatan-kegiatan fisik
ketika diperolehnya tacit knowledge.
2. Mode Iconic
Pada mode ini symbol-simbol dan
gambar digunakan untuk merepresentasikan elemen-elemen yang diperolehnya pada
mode sensorimotor. Tanda-tanda tersebut digunakan sebagai peran pengganti dari
komunikasi oral. Cirri-ciri dari anak yang berada pada mode ini antara lain
sering menggunakan strategi menebak, senang menggunakan alat peraga dan senang
membuat gambaran-gambaran mental. Mode sensorimotor dan iconic adalah mode-mode
alamiah dari seorang manusia yang berkembang secara alamiah juga. Sedangkan
target pertama dari sekolah formal ada pada mode concrete symbolic.
3. Mode Concrete Symbolic
Pada mode ini anak mengalami
“pertukaran” dalam proses abstraksi. Mereka mulai merepresentasikan dunia fisik
melalui bahasa oral ke dalam bentuk tulisan, yaitu sebuah system symbol yang
akan mereka gunakan dalam kehidupannya di dunia.
Sebuah system symbol memiliki
tingkatan dan logika internal yang dapat memfasilitasi sebuah hubungan antara
sistem simbol dan lingkungan fisik di sekitarnya. Sistem symbol yang digunakan
di sekolah antara lain adalah matematika dan bahasa. Mode concrete symbolic adalah
mode terbesar sebagai target dari matematika sekolah. Karena dalam matematika
anak menggambarkan dan mengoperasikan objek-objek yang berada di sekitarnya.
4. Mode Formal
Pada mode ini titik berat kemampuan
sesorang adalah pada kemampuan mengkonstruksi teori tanpa bantuan contoh benda
konkrit. Kemampuan berpikir pada tahap ini meliputi membuat formula hipotesis
dan membuat penalaran yang proporsional. Oleh karena itu kemampuan ini dituntut
pada mahasiswa-mahasiswa di Perguruan Tinggi.
5. Mode Post Formal
Keberadaan mode ini lebih menekankan
pada pembuatan hipotesis secara deduktif dari pada penyusunan teori berdasarkan
bukti-bukti empiris. Karakteristik terpenting dari mode ini adalah kemampuan
untuk bertanya tentang prinsip-prinsip mendasar dari sesuatu hal.
Taksonomi SOLO
ini terdiri dari lima tahap yang dapat menggambarkan perkembangan kemampuan
berpikir kompleks pada siswa dan dapat diterapkan di berbagai bidang.
Berikut adalah tahapan respon berpikir
berdasar taksonomi SOLO;
1. Tahap Pre-Structural.
Pada tahap ini siswa hanya memiliki
sangat sedikit sekali informasi yang bahkan tidak saling berhubungan, sehingga
tidak membentuk sebuah kesatuan konsep sama sekali dan tidak mempunyai makna
apapun.
2. Tahap Uni-Structural.
Pada tahap ini
terlihat adanya hubungan yang jelas dan sederhana antara satu konsep dengan
konsep lainnya tetapi inti konsep tersebut secara luas belum dipahami. Beberapa
kata kerja yang dapat mengindikasi aktivitas pada tahap ini adalah; mengindentifikasikan,
mengingat dan melakukan prosedur sederhana.
3. Tahap Multi-Structural.
Pada tahap ini
siswa sudah memahami beberapa komponen namun hal ini masih bersifat terpisah satu
sama lain sehingga belum membentuk pemahaman secara komprehensif. Beberapa
koneksi sederhana sudah terbentuk namun demikian kemampuan meta-kognisi belum
tampak pada tahap ini. Adapun beberapa kata kerja yang mendeskripsikan
kemampuan siswa pada tahap ini antara lain; membilang atau mencacah,
mengurutkan, mengklasifikasikan, menjelaskan, membuat daftar, menggabungkan dan
melakukan algoritma.
4. Tahap relational.
Pada tahap ini
siswa dapat menghubungkan antara fakta dengan teori serta tindakan dan tujuan.
Pada tahap ini siswa dapat menunjukan pemahaman beberapa komponen dari satu
kesatuan konsep, memahami peran bagian-bagian bagi keseluruhan serta telah
dapat mengaplikasikan sebuah konsep pada keadaan-keadaan yang serupa. Adapun
kata kerja yang mengidikasikan kemampuan pada tahap ini antara lain;
membandingkan, membedakan, menjelaskan hubungan sebab akibat, menggabungkan,
menganalisis, mengaplikasikan, menghubungkan.
5. Tahap Extended Abstract
Pada tahap ini
siswa melakukan koneksi tidak hanya sebatas pada konsep-konsep yang sudah
diberikan saja melainkan dengan konsep-konsep diluar itu. Dapat membuat
generalisasi serta dapat melakukan sebuah perumpamaan-perumpamaan pada
situasi-situasi spesifik. Kata-kerja yang merefleksikan kemampuan pada tahap
ini antara lain, membuat suatu teori, membuat hipotesis, membuat generalisasi,
melakukan refleksi serta membangun suatu konsep.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar